Pemerintahan Gus Dur
Butuh Legitimasi Moral
Penegakan Good Governance Masih
Jauh Dari Harapan
Secara keseluruhan
pemerintahan baru memiliki kecenderungan kurang mampu menegakkan pemerintahan
yang bersih.
Cita-cita untuk membangun
good governance masih jauh dari harapan. Demi menjalankan kepemimpinannya
secara efektif, legitimasi politik Presiden Abdurrahman Wahid harus didukung
dengan legitimasi moral
Tujuh bulan sejak
pembentukannya, pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Abdurrahman
Wahid belum menunjukkan tanda-tanda ke arah tegaknya good governance.
"Lambannya penanganan kasus-kasus korupsi berskala besar, lemahnya
koordinasi antar instansi, dan munculnya sejumlah kasus kontroversial bernuansa
korupsi menunjukkan belum efektifnya pemerintahan Gus Dur dalam membangun
landasan pemerintahan yang bersih", demikian evaluasi Masyarakat
Transparansi Indonesia (MTI) yang dituangkan dalam buku tahunan berjudul
"Membangun Pondasi Good Governance di Masa Transisi".
Evaluasi terhadap proses
penegakan good governance akan dilakukan MTI setiap tahun berdasarkan parameter
tertentu dengan metode yang akan disempurnakan terus menerus. Berdasarkan
parameter tersebut, MTI mengidentifikasi sejumlah indikasi dari praktik
pemerintahan yang baik (good governance) antara lain:
- Konsultasi antara eksekutif dengan legislatif
- Komunikasi elite politik dan masyarakat yang
semakin egaliter
- Pembebasan tahanan politik dan narapidana
politik
- Transparansi hasil audit BUMN besar
- Dibentuknya Komisi Hukum Nasional
- Rencana pembenahan lembaga peradilan
- Percepatan langkah-langkah ke arah otonomi
daerah
Di pihak lain, terdapat pula
indikasi dari praktik-praktik pemerintahan yang buruk (bad governance) yaitu:
- Lambannya penanganan kasus-kasus korupsi
(berskala besar)
- Lemahnya koordinasi antar Menteri/instansi
- Politisasi penunjukkan pejabat publik dan
pejabat BUMN
- Inkonsistensi pernyataan pejabat/kontroversi
pernyataan Presiden
- Likuidasi departemen/instansi yang tidak
terencana dengan baik
- Lambannya penanganan konflik sosial
- Munculnya kasus baru bernuansa korupsi di
lingkaran kekuasaan
Berdasarkan tinjauan terhadap
indikasi-indikasi yang ada, MTI berpendapat bahwa secara keseluruhan
pemerintahan yang baru memiliki kecenderungan KURANG MAMPU menegakkan good
governance. "Dengan mengambil contoh-contoh yang ada…penegakan good
governance masih jauh dari harapan," tandas Mar’ie Muhammad, Ketua Dewan
Pengurus MTI.
Masyarakat kini menghadapi
situasi yang penuh ketidakpastian. Upaya pemberantasan korupsi ternyata lebih
bernuansa politis daripada keseriusan untuk menegakkan hukum tanpa sikap
diskriminasi. Kasus-kasus lama penyalahgunaan aset negara belum lagi tuntas
diselesaikan, seperti penyimpangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, korupsi
di lingkungan Pertamina dan Perusahaan Listrik Negara, atau skandal Bank Bali
dan Komisi Pemilihan Umum.
Kasus-kasus baru yang lebih
mencemaskan mulai bermunculan, ditandai dengan terbongkarnya penyelewengan dana
milik Yayasan Bina Sejahtera Bulog yang — secara langsung atau tidak langsung –
telah mencemari lingkaran inti kekuasaan. Dampak buruk kasus itu telah
meruntuhkan kembali kepercayaan masyarakat domestik dan internasional yang
mulai pulih. Betapa tragis, di era reformasi terbukti korupsi masih berjalan
sebagaimana lazimnya, business as usual.
Mayoritas masyarakat
mengkhawatirkan langkah yang ditempuh Jaksa Agung selaku salah satu pilar
penegak hukum. Dalam menangani kasus-kasus dugaan pelanggaran hukum maupun
korupsi, terbaca dengan jelas bahwa Jaksa Agung cenderung mencari kompromi
politik, bukannya memberikan solusi hukum yang tegas tanpa pandang bulu.
Sebagai contoh, penetapan status tersangka atas Gubernur Bank Indonesia dalam
kasus Bank Bali diwarnai upaya intervensi lembaga eksekutif, dan prosesnya
penuh dengan nuansa tawar-menawar. Begitupun penerbitan SP3 untuk kasus Texmaco
sangat kental nuansa politisnya.
Sudah barangtentu publik
mengetahui seluk-beluk penyimpangan wewenang secara terbuka, meskipun
penafsirannya bisa berbeda-beda. Para pejabat yang diduga terlibat telah
menyampaikan pembelaan masing-masing. Namun kesadaran untuk mengungkap
informasi kebijakan (transparency) tak diiringi kesediaan untuk
mempertanggungjawabkan (accountability) segala kelemahan dan penyimpangan.
Keinginan untuk membongkar kinerja (disclosure) tidak diikuti kepekaan
menangkap aspirasi masyarakat (responsibility). Akibatnya, asas tatakelola
pemerintahan yang baik (good governance) seperti dilecehkan.
Dengan segenap keprihatinan, MTI
mengimbau agar para pejabat penting lembaga negara, baik eksekutif, legislatif,
maupun yudikatif senantiasa berpegang teguh pada aturan hukum yang berlaku
(rule of law). Kemudian setiap kebijakan dan keputusan diterapkan secara wajar
dan adil (fairness). Penegakan good governance memang membutuhkan kepemimpinan
yang tegas dan mengabdi pada kepentingan umum, bukan sikap yang menggampangkan
masalah serta permainan logika dan kata-kata.
Sikap tegas, tidak memihak, dan
selalu menjunjung tinggi supremasi hukum kiranya merupakan sumber legitimasi
moral. Dalam hubungan ini, untuk menjalankan kepemimpinannya secara efektif,
Presiden Abdurrahman membutuhkan legitimasi moral, disamping legitimasi politik
yang telah diperolehnya.
Badan Pengurus
Masyarakat Transparansi
Indonesia